Beranda | Artikel
Etika Safar
Kamis, 10 Maret 2011

ETIKA SAFAR

Diantara kita tentu pernah melakukan perjalanan (safar); baik itu perjalanan untuk menuntut ilmu, berziarah kepada famili atau sekedar berekreasi. Untuk itu, kita semestinya memperhatikan adab bersafar, sehingga sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berikut kami ketengahkan perihal adab bersafar, yang kami angkat berdasarkan maraji Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihin, Daar Ibnul Jauzi KSA, Cet. VI, Tahun 1422H.

Sunnah Bepergian Pada Hari Kamis dan Pada Permulaan Siang, Yakni Sekitar Waktu Dhuha

عَنْ كَعْبِ بنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ : أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم خَرَجَ في غَزِوَةِ تَبُوْكَ يَوْمَ الخَمِيْسِ وَ كَانَ يُحِبُّ أنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الخَمِيْسِ

Dari Ka’b bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm pergi menuju perang Tabuk pada hari Kamis, dan Beliau menyukai bepergian pada hari Kamis.” [1]

عَنْ صَخْرٍ بنِ وَدَاعَةَ الغَامِدِيِّ الصَّحَابِيِّ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه و سلم قَالَ ((اللهمَّ بَارِكْ لأمَّتِيْ فِيْ بُكُوْرِهَا )) وَ كَانَ إذَا بَعَثَ سَرِيَّةً أوْ جَيْشًا بَعَثَهُمْ مِنْ أوَّلِ النَّهَارِ. وَ كَانَ صَخْرٌ تَاجِرًا فَكَانَ يَبْعَثُ تِجَارَتَهُ أوَّلَ النَّهَار، فَأثْرَى وَ كَثُرَ مَالُهُ

Dari Shakhr bin Wada’ah Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdoa: “Ya, Allah. Berkahilah umatku pada permulaan siang mereka”. Dan jika ingin mengutus pasukan, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus mereka pada permulaan siang (pada waktu Dhuha). Dan Shakhr adalah seorang pedagang. Dia mengirim utusan dagangnya pada permulaan siang, hingga ia menjadi kaya dan mendapat harta yang banyak.[2]

Disunnahkan Membaca Do’a Ketika Menaiki Kendaraan

عَنِ ا بِنِ عُمَر رضي الله عَنهما أنَّ رَسوُلَ الله صلى الله عليه و سلم كَانَ إذَا اسْتَوَى عَلَى بِبَعِيْرِهِ خَارِجًا إلى السَّفَرِ كَبَّرَ ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ (( سُبْحَانَ الََّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَ مَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ وَ إنَّا إلى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ. اللهُمَّ إنَّا نَسْأَلُكَ في سَفَرِنَا هَذَا البِرَّ وَ التَقْوَى وَ مِنَ العَمَلِ مَا تَرْضَى . اللهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ اللهُمَّ أنْتَ الصَّاحِبُ في السَّفَرِ وَ الخَلِيْفَةُ في الأهْلِ اللهُمَّ إنّيِ أعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَ كَآبَةِ المَنْظَرِ وَ سُوْءِ المُنْقَلَبِ في المَالِ وَ الأهْلِ وَ الَوَلَدِ)).

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menaiki kendaraan ketika hendak bepergian, Beliau bertakbir sebanyak tiga kali, kemudian berdoa: “Maha Suci Dzat yang telah menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal kami dahulu tidak mampu menguasainya. Dan sesungguhnya kepada Rabb kamilah, kami akan kembali. Ya, Allah! Kami mohon kepadaMu dalam perjalanan kami ini kebajikan dan takwa, serta amal yang Engkau ridhai. Ya, Allah! Mudahkanlah perjalanan kami ini, serta dekatkanlah jarak perjalanan kami. Ya, Allah! Engkaulah teman dalam perjalanan, dan penjaga keluarga yang kami tinggal. “Ya, Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari kesulitan dalam perjalanan, kesedihan serta tempat kembali yang buruk dalam keluarga, harta dan anak”.

Dan jika kembali dari perjalanan, disunnahkan membaca do’a di atas, kemudian ditambah dengan lafazh: آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ (Kami kembali kepada Allah dengan bertaubat, menyembah dan memujiNya).[3]

Dalam Bepergian Disunnahkan Tidak Sendirian, Tetaapi Bersama Teman dan Menunjuk Salah Seorang Sebagai Ketua Rombongan yang Memimpin Perjalanan

غَنْ بْنِ عُمَرَ رضي الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم (( لَوْ أنَّ النَّاسَ يَعْلَمُوْنَ مِنَ الوَحدَةِ مَا أَعْلَمُ مَا سَافَرَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ))

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Seandainya saja manusia mengetahui apa yang aku ketahui tentang bahaya kesendirian, niscaya tak ada seorang pun yang mau bepergian pada malam hari seorang diri.”[4]

Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan sinyalemen adanya bahaya yang menghadang dalam perjalanan, dikarenakan bepergian sendirian. Oleh karenanya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, karena dikhawatirkan adanya bahaya yang datang dari segala penjuru, syethan akan menghampirinya, membisikkan rasa was-was, serta menggodanya dalam perjalanan untuk melakukan perbuatan maksiat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu sabdanya:

عَنٍ عَمْرو بْنِ شُعَيْبٍعَنْ أبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ رضي الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم ((الرَّاكِبُ شَيْطَانٌ و الرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ وَ الثَّلاَثَةُ رَكْبٌ))

Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Orang yang bepergian sendirian adalah (bersama) syethan. Dan orang yang bepergian berdua adalah (bersama) dua syethan. Sedangkan orang yang berpergian bertiga adalah rombongan musafir (yang tidak dihampiri syethan).” [5]

Mengomentari hadits tersebut, Syaikh Salim menunjukkan adanya faidah yang bisa diambil, sebagai berikut :[6]

  1. Syethan akan menemani seseorang yang bepergian sendirian.
  2. Bepergian seorang diri akan mengundang syethan untuk menghampirinya. Hal seperti ini merupakan kebiasaan yang dilakukan syethan.
  3. Syethan menjauh dari kelompok musafir yang banyak (berjumlah di atas tiga orang), karena kelompok tersebut saling menolong sesama mereka, dan bahu-membahu dalam mengenyahkan kesulitan yang menimpa salah seorang dari mereka.
  4. Wajibnya bepergian dengan berjama’ah, minimal tiga orang.

Bila seseorang bepergian seorang diri, tentu ia tidak memiliki kawan yang akan menolongnya jika tertimpa kesulitan. Misalnya, seperti sakit dalam perjalanan dan kesulitan-kesulitan yang membutuhkan pertolongan orang lain.
Dalam larangan bepergian sendirian ini terdapat hikmah bagi keselamatan seorang mukmin. Memang benar, seorang mukmin harus bertawakal dan menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah. Namun, bertawakal kepada Allah tidak berarti menafikan sebab. Karena meminta bantuan kepada manusia yang hadir dan mampu dikerjakannya, diperbolehkan syari’at.

Larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, bukan berarti kita menggantungkan diri secara mutlak kepada teman perjalanan. Sama sekali tidak! Akan tetapi, kita diperintah untuk mengambil sebab yang mengantarkan kepada keselamatan, dan sebagai pencegah terjerumusnya si musafir ke dalam maksiat atau madharat lainnya.

Oleh karena itu, sebagai muslim, selayaknya kita memahami larangan Rasulullah n tersebut, serta menyikapinya dengan benar. Seorang mukmin hendaknya bersemangat mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. karena, berdasarkan wahyu dari Allah, Rasulullah adalah orang yang paling faham yang bermanfaat dan yang membahayakan umatnya.

Adapun petunjuk agar mengangkat seseorang untuk memimpin perjalanan, tertuang dalam sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

عَنِ أبِيْ سَعِيْدٍ وَ ابِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عننهما قَالا: قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم (( إذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ ))

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhuma, mereka berdua berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Jika ada tiga orang yang keluar hendak bepergian, maka hendaklah mereka menunjuk salah seorang dari mereka sebagai pemimpin.” [7]

Seseorang yang ditunjuk sebagai pemimpin rombongan, hendaklah orang yang shalih dan mampu mengemban tugas kepemimpinan dalam perjalanan. Karena ia memikul tanggung jawab yang tidak ringan. Dia harus mampu mengambil keputusan yang benar pada saat-saat genting, saat rombongan menghadapi masalah, serta tugas-tugas lain yang menuntut kemampuannya untuk bertindak bijak dan tepat demi kemaslahatan rombongan. Demikian juga perintah pimpinan rombongan harus ditaati oleh setiap personil rombongan tersebut, selama mereka berada dalam perjalanan. Kepemimpinan seseorang dalam perjalanan, tidak sama dengan kepemimpinan khilafah atau pemimpin kaum muslim di suatu negeri. Kepemimpinan dalam perjalanan akan berakhir ketika perjalanan mereka telah usai.

Memperhatikan Adab-Adab Ketika Singgah dan Bermalam Di Suatu Tempat

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم (( إذَا سَافَرْتُمْ فِيْ الخِصْبِ فَأعْطُوْا الإبِلَ حَظَّهُ مِنَ الأرْضِ ، وَ إذَا سَافَرْتُمْ في الجَدْبِ فَأسْرِعُواْ عَلَيْهَا السَّيْرَ وَ بَادِرُوا بِهَا نِقْيَهَا وَ إذَا عَرَّسْتُمْ فَاجْتَنِبُوْا الطَّرِيْقَ فَإنَّهَا طُرُقَ الدَّوَابِ وَ مَأوَى الهَوَامِّ بِاللَّيْلِ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasuulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm bersabda,”Jika kalian bepergian dan melewati daerah padang rumput, maka berikanlah unta haknya dari (rumput yang tumbuh di) tanah tersebut. Dan jika kalian melewati daerah tandus, maka percepatlah langkah kalian. Dan jika kalian hendak bermalam, maka janganlah bermalam di jalan, karena ia merupakan tempat lewat hewan dan tempat tinggal serangga pada malam hari.”[8]

Dalam hadits di atas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan penjelasan tentang cara bersikap dalam perjalanan, ketika melewati tempat yang kondisinya berbeda satu sama lain. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyuruh untuk berlaku lemah lembut terhadap hewan. Walaupun diperbolehkan menunggangi hewan dalam perjalanan, namun kita juga harus memeperlakukannya dengan baik, memberikan haknya berupa makan dan minum, serta tidak memberinya beban yang membuatnya menjadi payah dan lelah.

Adab lain yang harus kita perhatikan juga, selama dalam perjalanan agar tetap berkumpul dengan rombongan serta tidak memisahkan diri ketika singgah di suatu tempat. Karena memisahkan diri dari rombongan berarti perpecahan. Sedangkan perpecahan sangat dicintai syethan. Pada perpecahan tersebut terdapat banyak madharat yang harus dihindari oleh kaum mu’minin.

عَنْ أبِيْ ثَعْلَبَةَ الخُشَنِيِّ رضي الله عَنْهُ قَالَ : كَانَ النَّاسُ إذَا نَزَلَ مَنْزِلاً تَفَرَّقُوأ في الشِّعَابِ وَ الأوْدِيَةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم (( إنَّ تَفَرُّقَكُمْ فِيْ هَذِهِ الشِّعَابِ وَ الأوِدِيَةَ إنَّما ذُلُّكُمْ مِنَ الشَّيْطَانِ)). فَلَمْ يَنْزِلُوْا مَنْزِلاً بَعدَ ذلك إلاَّ وَ انْضَمَّ بَعْضُهُمْ إلى بَعْضٍ

Dari Abu Tsa’labah Al Khusyani Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Dahulu, jika para sahabat singgah di suatu tempat, mereka berpencar di bukit-bukit dan lembah-lembah. Maka Rasulullah bersabda,’Sesungguhnya berpencarnya kalian ke bukit-bukit dan lembah-lembah merupakan kehinaan bagi kalian (dan itu berasal) dari syethan’. Maka setelah kejadian itu, mereka tidak singgah di suatu tempat, kecuali mereka bergabung satu sama lainnya.”[9]

Ketika singgah di suatu tempat, kita juga dianjurkan untuk berdo’a, bertakbir ketika berada di tempat yang tinggi, serta bertasbih ketika melewati lembah atau tempat yang rendah.

عَنْ خَوْلَةَ بِنْتِ حَكِيْمٍ رضي الله عَنْهَا قَالَتْ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ
((مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ : أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ الله التَامّاَتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلك))

Dari Khaulah binti Hakim , ia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Barangsiapa yang singgah di suatu tempat, kemudian ia berdo’a, ‘aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari segenap keburukan yang Ia ciptakan’, niscaya tidak ada sesuatu pun yang membahayakannya sampai ia pergi dari tempat tersebut”.[10]

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدَ الله رضي الله عنه قَالَ : كُنَّا إذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا وَ إذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Kami bertakbir, jika menaiki (tempat yang tinggi), dan bertasbih manakala kami menuruni lembah.” [11]

Selama Dalam Perjalanan, Disunnahkan Memperbanyak Do’a, Karena Pada Saat Itu Do’a Dikabulkan.

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم (( ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ : دَعْوَةُ المَظْلُوْمِ دَعْوَةُ المُسَافِرِ وَ دَ عْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ ))

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tiga jenis do’a yang dikabulkan dan tidak diragukan lagi, (yaitu) do’a orang yang dizhalimi, do’a orang yang bepergian dan orang tua (ayah) yang mendo’akan (kejelekan) atas anaknya.” [12]

Jika Kepentingannya Sudah Selesai Disunnahkan Segera Kembali Pulang Dari Safar

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه و سلم قال (( السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ يَمْنَعُ أحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَ شَرَابَهُ وَ نَوْمَهُ فَإذَا قَضَى أحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ مِنْ سَفَرِهِ فَليُعَجِّلِ إلى أهْلِهِ)).

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Safar (perjalanan) adalah bagian dari adzab yang mencegah salah seorang kalian dari makan, minum dan tidur. Maka bila salah seorang kalian telah mencapai maksud dari perjalanannya, hendaklah segera kembali kepada keluarganya.” [13]

Disunnahkan Kembali Dari Safar Pada Siang Hari, Dimakruhkan Kembali Pada Malam Hari

عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه أنَّ رَسُوْلَ الله صلى عليه و سلم قَالَ ((إذَا أطَالَ أحَدُكُمُ الغَيْبَةَ فَلاَ يَطْرُقَنَّ أهْلَهُ لَيْلاً))

Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Jika salah seorang kalian berpergian dalam jangka waktu yang lama, maka janganlah (kembali dari safarnya dengan) mengetuk pintu pada malam hari.” [14]

Disunnahkan Shalat Dua Raka’at Di Masjid Terdekat Sebelum Mendatangi Rumahnya

عَنْ كَعْبِ بنِ مَالِكٍ رضي الله أنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه و سلم كَانَ إذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ بَدَأَ بِالمَسْجِدِ فَرَكَعَ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ

Dari Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, bahwasannya jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari perjalanan, Beliau mendatangi masjid dan shalat dua raka’at.[15]

Wanita Diharamkan Bepergian Tanpa Disertai Mahramnya

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم (( لاَ يَحِلُّ لامْرَأةٍ تُؤْمِنُ بالله وَ اليَوْمِ الآخِرِ تُسَافِرُ مَسِيْرَةَ يَوْمِ وَ لَيْلَةٍ إلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ عَلَيْهَا))

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bepergian dalam jarak sehari semalam, kecuali disertai mahramnya”.[16]

Hadits ini menjelaskan haramnya wanita bepergian tanpa mahram dalam jarak sehari semalam. Tetapi bukan berarti wanita dibolehkan bepergian dengan tanpa mahram jika jaraknya kurang dari sehari semalam, karena ada beberapa hadits lainnya yang menerangkan dengan jelas haramnya wanita bepergian tanpa mahram secara mutlak (tidak terikat dengan jarak maupun waktu). Diantara hadits-hadits tersebut, adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu :

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ (( لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأةٍ إلاَّ وَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ ، وَ لاَ تُسَافِرُ المَرْأةُ إلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ)). فَقَالَ لَهُ رَجُلٌُ: يَا رَسُوْلَ الله إنَّ امْرَأتِيْ خَرَجَتْ حَاجَّةً ، وَ إنِّيْ اكْتُتِبْتُ في غَزْوَةِ كَذَا وَ كَذَا ؟ قَالَ (( انْطَلِقْ فَحُجَّ مَعَ امْرَأتِكَ ))

Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, ia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan wanita, kecuali disertai dengan mahramnya. Dan janganlah seorang wanita bepergian, kecuali bersama mahramnya”. Lalu seorang sahabat berkata kepada Beliau,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya isteriku pergi berhaji, sedangkan aku diperintah untuk turut serta dalam peperangan ini dan itu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Kembalilah dan berhajilah bersama isterimu.” [17]

Syaikh Salim berkata,”Hadits ini menerangkan larangan yang sangat jelas tidak dibolehkannya seorang wanita bepergian tanpa mahram. Ada beberapa riwayat yang menerangkan batasan jarak (diharamkannya wanita bepergian tanpa mahram). Sebagian riwayat menyebutkan “di atas tiga hari”, dan riwayat yang lain “dua hari”, dan lainnya “jarak (perjalanan) satu hari”, dan yang lainnya “jarak (perjalanan) satu hari satu malam”, dan riwayat yang lainnya lagi “jarak perjalanan beberapa mil”. (Terjadinya perbedaan) riwayat-riwayat tersebut, disebabkan berbedanya orang yang bertanya (kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan tempatnya. Akan tetapi, (sesungguhnya) diantara riwayat-riwayat tersebut tidak ada kontradiksi. Wal hasil, wanita dilarang (diharamkan) bepergian tanpa mahramnya selama bepergian tersebut disebut safar.” [18]

Demikianlah sedikit yang biasa kami himpun dari petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang etika safar. Semoga kita mampu mengambil manfaat dari petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dan meneladani Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupan kita, sehingga kita berhak mendapat syafa’atnya dan termasuk orang-orang yang beroleh kesempatan minum dari haudh Belaiu Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat nanti. (Amatullah Ummu Abdillah)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun VIII/1425H/2004M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote  
[1] Muttafaqqun ‘alaih, dan Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (6/113-Fathul Bari).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/199).
[2] HR Abu Dawud dan Tirmidzi dan ia berkata,”Hadits hasan.” Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Hadits hasan dengan syawahidnya dikeluarkan oleh Abu Dawud (2606), Tirmidzi (1212), Ibnu Majah (2236), Ahmad (3/417, 431 dan 4/390) dari jalan Ya’la bin ‘Atha dan ‘Umarah bin Hadid, darinya dengan lafazh hadits di atas.” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/199).
[3] HR Muslim. Syaikh Salim berkata,”Dikeluarkan oleh Muslim (1342).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/211).
[4] HR Al Bukhari, berkata Syaikh Salim bin Id Al Hilali,”Dikeluarkan oleh Bukhari (6/137, 138- Fathul Bari).”. Lihat Bahjatun Nazhirin (2/200).
[5] HR Abu Dawud dan Tirmidzi dan Nasa’i, dengan sanad-sanad yang shahih. Dan berkata Tirmidzi,”Hadits hasan.” Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 2.607 dan Tirmidzi no. 1.674 dan Ahmad (2/184 dan 214), dan Hakim (2/102) dari beberapa jalan dari Abdurrahman bin Harmalah dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya.” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/201).
[6] Bahjatun Nazhirin (2/201).
[7] HR Abu Dawud. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Abu Dawud no. 2.608 dan 2.609 dengan sanad hasan.” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/201).
[8] HR Muslim. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Muslim (1927).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/203).
[9] Hadits shahih, dikeluarkan oleh Abu Dawud (2.627), Ahmad (4/193), Al Hakim (2/115), Al Baihaqi (6/152), Ibnu Majah (2.690) dari jalan Al Walid bin Muslim (ia berkata): Telah mengkhabarkan kepada kami Abdullah bin ‘Ala bin Zabr, bahwa ia mendengar Muslim bin Misykam Abu Ubaidillah berkata,”Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Tsa’labah Al Khusyani (kemudian ia menyebutkan hadits tersebut).” Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Salim bin Id Al Hilali dalam Bahjatun Nazhirin (2/205).
[10] HR Muslim, no. 2.708
[11] HR Al Bukhari. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (6/135-Fathul Bari).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/214).
[12] HR Abu Dawud dan Tirmidzi dan ia berkata,”Hadits hasan.” Sedangkan dalam riwayat Abu Dawud tidak terdapat tambahan lafazh (عَلَى وَلَدِهِ ). Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Hadits hasan lighairihi. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Al Adabul Mufrad (32 dan 481), Abu Dawud (1.536), Tirmidzi (1.905), Ibnu Majah (3.862), Ahmad (2/ 248,258,478,517,523) dan Ibnu Hibban (2.699) dan selaim mereka dari beberapa jalan dari Yahya bin Abi Katsir dari Abu Ja’far dari Abu Hurairah.” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/217).
[13] Mutaffaqun ‘alaih, dan Syaikh Salim berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (3/262-Fathul Bari) dan Muslim (1.927).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/220).
[14] HR Bukhari dan Muslim. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (3/620- Fathul Bari), Muslim (715).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/221).
[15] Muttafaqqun ‘alaihi. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (8/113-116- Fathul Bari) dan Muslim (2.789). Lihat Bahjatun Nazhirin (1/68).
[16] Muttafaqun ‘alaih. Syaikh Salim bin Id Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (2/566-Fathul Bari) dan Muslim (1.339 dan 421).” Lihat Bahjatun Nazhirin (2/223).
[17] Muttafaqun ‘Alaih. Syaikh Salim bin Ied Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari 4/72-Fathul Bari, dan Muslim (1341).”
[18] Bahjatun Nazhirin 2/221-222.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3004-etika-safar.html